Sunday, May 17, 2009

Musik: Teman Hidup (part 1)

dalam sebuah angkot, Rabu pagi pukul 07.00 WIB, seorang karyawati yang berpakaian rapi dalam perjalanan menuju kantornya mendengarkan rekaman lagu melalui headphone dari mp3 playernya.
dua orang pemuda menampilkan dua buah lagu di dalam bis patas ac menggunakan sebuah gitar dan satu buah shaker sambil menyanyi.
Selasa malam pukul 20.00 WIB, 4 orang bapak dan 17 orang ibu berkumpul bersama di sebuah rumah, berlatih koor untuk perayaan natal dua minggu depan..
setelah menyusui anaknya, seorang ibu meninabobokan si bayi.
sebuah band ternama ibukota sedang melakukan konser di suatu stadion, ditonton oleh puluhan ribu penggemarnya.
seorang pianis memainkan lagu-lagu instrumentalia di lobi sebuah hotel berbintang empat.
seorang sound engineer sedang menyimak hasil kerjanya di depan sebuah monitor komputer dan monitor speaker seusai mixing hasil rekaman.
Kamis pagi, 08.00 WIB, belasan orang ibu-ibu berusia di atas 50 tahun berkumpul bersama di halaman parkir sebuah mall bersenam aerobik diiringi lagu “bang Toyib” yang diputar keras menggunakan 2 pasang speaker ‘saloon’.
siang hari di sebuah kampung, sekumpulan orang menabuh alat pukul sambil menari-nari diikuti oleh puluhan orang lain di belakangnya seusai panen hasil bumi.


Sama halnya dengan udara, musik –sadar atau tidak– selalu kita konsumsi setiap hari. Istilah mengkonsumsi mungkin jadi kurang tepat: mengalaminya lewat beragam cara –membuat, memainkan, mendengarkan (tiga cara utama mengalami musik) mungkin istilah yang lebih tepat– pasti terjadi dalam keseharian kita. Ilustrasi di atas hanyalah sebagian kecil dari banyak sekali bentuk pengalaman kita dengan musik. Saya yakin anda pun pasti mengalami musik dalam keseharian anda, entah sebagai pendengar, pemain, pencipta, atau apapun bentuk/ perannya.

Apakah musik itu? Apa saja yang terhitung sebagai musik, apa yang bukan?
Saya tidak yakin kita bisa merespon pertanyaan tersebut dengan jawaban yang pasti. Terlalu banyak penjelasan tentang musik yang ada dalam literatur-literatur populer dan ilmiah. Kesemuanya tidak memberikan batasan yang sama tentang apa itu musik, tidak ada satu pun penjelasan verbal yang benar-benar dapat menjelaskan musik (termasuk tulisan ini). Mengapa bisa begitu? Ungkapan Elvis Costello berikut ini mungkin dapat menjadi alasannya: “Membicarakan musik sama saja dengan menari tentang arsitektur”. Jadi sebenarnya bagaimana caranya kita memahami musik jika kita tidak membicarakannya? ………………………

Tepat sekali, cara yang paling mujarab untuk memahami musik adalah mengalaminya. Saya menggunakan kata mengalami untuk menghindari penggunaan beberapa istilah sempit dalam bermusik: mendengarkan, memainkan, menciptakan. Karena (bahkan) dalam kegiatan mendengarkan musik kita pasti men’cipta’kan musik bagi diri kita sendiri; saat memainkan musik kita juga men’dengar’kan dan men’cipta’kannya; begitu juga saat menciptakan musik, kita pun melakukan kegiatan men’dengar’kan dan me’main’kannya.
Untuk lebih ‘merumitkan’ tulisan ini, mari kita lakukan sedikit ‘praktikum’ musik:
"Ingat-ingatlah sebuah lagu yang sangat anda sukai, lagu favorit anda. Anda tidak perlu memutar rekamannya atau menyanyikan lagu tersebut (bahkan menyenandungkannya).
Silakan hening sejenak selama beberapa menit untuk mengingat lagu tersebut……."


Baik… waktu praktikum telah usai. Saya akan mengajukan pertanyaan sederhana: “mana musik yang tadi anda bayangkan?”. Saya yakin jari telunjuk kita tidak akan bisa menunjukkan di mana letak persis musik itu. Mungkin kita akan menunjuk kepala, dada, perut, atau udara, atau bahkan bukan di mana-mana.

Praktikum sederhana tadi sedikitnya mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahkan ‘tanpa ada’ musik pun kita masih dapat mengalaminya. Penelitian neuropsikologi menunjukkan bahwa setiap orang dapat ‘membayangkan’ atau ‘mendengarkan’ musik dalam pikirannya tanpa perlu ada musik yang secara aktual dibunyikan/ dimainkan/ diperdengarkan. Hanya kerusakan parah pada otak yang membuat kita tidak dapat ‘membayangkan’ atau ‘mendengarkan’nya. Kita dianugerahi Sang Pencipta kemampuan yang (ternyata) begitu dasar dan sederhana yaitu mampu mengalami musik. Hal ini berlanjut pada implikasi kedua: dengan bekal dasar dan sederhana tersebut (dalam tingkat yang sedikit lebih advanced) kita semua bisa menikmati musik. Betapa beruntungnya kita…

Here we are, sekarang, di saat ini, di ruangan tertentu, pada masa ini, berlaksa abad dan peradaban yang telah umat manusia jalani: musik tetap ada. Mari kita tengok lagi ilustrasi di awal tulisan ini. Begitu beragam praktik kita dengan musik dalam keseharian kita. Jadi sebenarnya manusia adalah makhluk yang ‘serius di musik’. Betapa tidak, setiap hari kita terlibat dengannya. Bukan hanya perasaan atau pikiran, bahkan tingkah laku motorik dan sosial kita juga (sedikit banyak) terlibat dengan musik. Kontras dengan fakta tadi, saat kita ditanya “apakah kita musikal?” ternyata cukup banyak orang yang menganggap dirinya tidak musikal.
Berbeda dengan fakta-fakta di atas, hampir sebagian besar masyarakat kita akan menganggap band-band papan atas ibukota sebagai musik pada urutan atas sedangkan nina-bobo ibu –yang selalu menemani tidurnya selama (setidaknya) setahun pertama usia bayinya, yang sekaligus merupakan pengenalan musik awal– berada di urutan bawah.

No comments: